Jumat, 11 Januari 2013

Tugas-Etika Profesi Akuntansi


KEJAHATAN “KERAH PUTIH”
Review
            Pada awalnya, kejahatan kerah putih merupakan kejahatan bisnis (business crime) atau kejahatan ekonomi (economic criminality). Pelakunya adalah para “pengusaha-pengusaha” dan para “penguasa-penguasa” atau pejabat-pejabat publik didlm menjalankan fungsinya, atau menjalankan perannya sehubungan dengan kedudukan atau jabatannya. Keadaan keuangan dan kekuasaan para pelaku relatif kuat, sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan, karen mereka dengan keuangannya yang kuat dapat kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya. Tidak mudah untuk memenjara para pelaku kejahatan kerah putih karena harus diperlakukan secara khusus dalam hal penghukumannya.
            Kejahatan kerah putih atau white collar crime, diperkenalkan oleh kriminolog Edwin Sutherland pada tahun 1939. Sutherland mendefinisikanwhite collar crime sebagai “kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan status yang terhormat dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya”. Kejahatan kerah putih terjadi karena adanya motivasi finansial, yang dilakukan secara illegal, dan biasanya dilakukan tanpa kekerasan atau non-violent. Kejahatan ini disebut sebagai kejahatan kerah putih, karena  kerah putih  yang digunakan para pelakunya adalah simbol para korporat dan para pekerja dengan status terhormat.  Dalam kriminologi, para pelaku white collar crimememiliki atribut dan motif yang berbeda dibandingkan pelaku kejahatan jalanan atau street criminals. Contoh kejahatan kerah putih yang lebih umum dikenal adalah tindakan korupsi.
            Kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum.
Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Kejahatan kerah putih sungguh memasung dan membodohi rakyat. Rakyat yang tidak melek politik akhirnya pasrah, tetapi kepasrahan ini justru kian membuat para pejabat menggagahinya.
White collar crime dibedakan dari blue collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara, blue collar crime dipakai untuk menyebut semua skandal kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan kualitas dan kuantitas rendah. Namun, kita juga harus tahu, kejahatan di tingkat bawah juga sebuah trickle down effect. Maka, jika kita mau memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di instans pemerintahan, kita harus mulai dari white collar crime, bukan dari blue collar crime.
Kejahatan kerah putih merujuk pada kejahatan yang umumnya dilakukan di dunia bisnis atau birokrasi. Jenis kejahatan semacam itu diantaranya termasuk penggelapan, penipuan, atau korupsi.
Ahli kriminologi dan sosiologi, Edwin Sutherland, menciptakan istilah ini dalam sebuah pidato pada tahun 1939. Sutherland mengemukakan bahwa orang lebih cenderung untuk melakukan kejahatan ketika mereka dikelilingi oleh orang yang memiliki perilaku kriminal. Seorang kriminal kerah putih dianggap memiliki peluang kecil melakukan kejahatan lain, sehingga pengadilan cenderung menjatuhkan hukuman lebih ringan dari kejahatan yang melibatkan kekerasan.
Saat ini, definisi kejahatan kerah putih juga merujuk kepada status sosial ekonomi dari orang yang melakukan kejahatan. Seseorang dari kelas menengah atau atas ketika melakukan kejahatan cenderung dianggap melakukan kejahatan kerah putih.
Namun, jika kejahatan itu melibatkan kekerasan julukan kerah putih akan sirna meskipun dilakukan oleh golongan kelas atas. Terdapat kecenderungan kejahatan kerah putih dihukum lebih ringan dibanding kejahatan dengan kekerasan seperti perampokan atau pembunuhan. Namun, kejahatan kerah putih seperti penggelapan atau pencurian dana perusahaan sebenarnya membahayakan (merugikan) lebih banyak orang.
Kejahatan kerah putih cenderung terjadi di antara mereka yang memiliki kelas sosial ekonomi tinggi. Hal ini akan menguntungkan bagi para kriminal kerah putih, sebab mereka bisa menyewa pengacara handal untuk membela dan meringankan hukuman mereka. Umumnya, penjahat kerah putih juga ditempatkan dalam sebuah penjara dengan keamanan minimum. Lingkungan seperti itu menawarkan kebebasan yang lebih besar sehingga para tahanan kerah putih berpotensi tetap menikmati berbagai fasilitas meskipun berada di dalam penjara. Meskipun nampaknya tidak terdapat korban secara langsung, kejahatan kerah putih seperti korupsi berpotensi merugikan lebih banyak orang sekaligus menimbulkan kerugian jangka panjang,
Contoh Pembahasan
            Apa itu Kejahatan “Kerah Putih” ?
Kejahatan kerah putih merujuk pada kejahatan yang umumnya dilakukan di dunia bisnis atau birokrasi. Jenis kejahatan semacam itu diantaranya termasuk penggelapan, penipuan, atau korupsi.
Pada saat-saat ini yang terjadi di Indonesia soal Kejahatan “Kerah Putih” merujuk pada kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games.
Muhammad Nazaruddin sebagai terdakwa kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dikatakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor perbuatannya digolongkan dalam white colar crime (kejahatan kerah putih). Sehingga, harus diperlakukan secara khusus dalam hal penghukumannya. Dengan akal bulus atau terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan, maka kejahatan sejenis itu termasuk diantara kejahatan kerah putih yang diantaranya termasuk penggelapan, penipuan, serta korupsi.
Majelis Hakim menilai Nazaruddin selaku penyelenggara negara telah terbukti menerima uang Rp 4,6 miliar dari lima lembar cek yang berasal manajer marketing PT Duta Graha Indah (DGI), Mohamad El Idris. Sebagai, realisasi commitmen fee 13 persen untuk pemenangan PT DGI sebagai pelaksana pembangunan Wisma Atlet SEA Games tahun 2011.
Oleh karena itu, Nazaruddin dijerat dengan menggunakan Pasal 11 UU Tipikor, yaitu pegawai negeri menerima hadiah atau janji padahal patut diduga hadiah tersebut berhubungan dengan jabatan atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ada hubungannya dengan jabatannya. Dengan hukuman pidana selama empat tahun dan 10 bulan dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan.

Komentar:
“Menurut pendapat saya perbuatan Nazaruddin dalam kasus Wisma Atlet SEA GAMES sangatlah picik akal bulus nya dalam melakukan penyuapan yang diterima oleh Nazaruddin dari PT Duta Graha Indah (DGI) yang memenangkan pelaksanaan pembangunan Wisma Atlet SEA Games tahun 2011. Maka peranan pemerintah yang menugaskan KPK sebagai pembrantas korupsi sangatlah dipentingkan agar meyelidiki kejujurannya serta penanggungjawaban laporan-laporan terhadap pembangunan-pembangunan maupun proyek-proyek yang menyangkut soal dana pemerintah agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang diperbuatan oleh Nazaruddin selaku penyelenggara Negara dalam proyek pembuatan Wisma Atlet SEA GAMES 2011”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar